( Foto: nelson mandela )
OPINI
Siapa yang tidak mengenal sosok Nelson Mandela,
begitu mendengar namanya saja mungkin kita dapat menbayangkan bagaimana
perjuangannya dalam membebaskan belenggu Apartheid di bumi Afrika Selatan.
Mandela adalah seorang yang memiliki rasa nasionalis tinggi terhadap bangsanya
yang tertindas dan menjadi kaum minoritas di negeri sendiri. Lalu ketika muda
ia berani menentang kebijakan pemerintah dengan melakukan berbagai aksi
demonstrasi dan dalam hal masuk-keluar penjara serta berurusan dengan aparat
kepolisian bukanlah hal yang baru baginya. Tujuan yang hendak dicapainya
hanyalah satu yakni untuk kebebasan rakyat Afrika Selatan dari kebengisan
kolonialis ala apartheid ini. “ Saya dilahirkan tidak dengan keinginan untuk
menjadi orang bebas. Saya dilahirkan sebagai orang bebas.” Itulah perkataan
tegas yang diucapkan oleh mulutnya, lagi-lagi demi kebebasan. Semua
perjuangannya itu harus dibayar mahal dengan 27 tahun meringkuk didalam penjara
yang paling keji di afrika selatan, dan nomor sel “46664” menjadi saksi kisah
pilunya dalam memperjuangkan kebebasan bangsa Afrika Selatan. Setelah ia
menerima kebebasannya dan melalui pemilihan umum di Afrika Selatan telah
menjadikan Mandela sebagai Presiden Afrika Selatan setelah FD. Klerk. Namun
mandela tidak menikmati jabatannya sebagai Presiden karena hanya dalam waktu
singkat saja ia mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Kalau saya mencoba
membandingkan sosok Mandela dengan sosok-sosok para elite politik di negara kita
saat ini, tentu saja tidak ada satupun sosok pemimpin yang berwatak seperti
mandela yang tetap menjaga idealismenya bahkan setelah menjadi seorang pemimpin
dan penguasa sekalipun. Mandela juga seorang aktivis tapi, dia tidak pernah
termakan oleh jabatannya, hal inilah sangat kontras dengan para elit politik
bangsa kita yang dulunya aktivis yang idealis ternyata setelah mendapat
kekuasaan kehilangan idealismenya. Nelson Mandela tidak mengenal korupsi,
kolusi apalagi nepotisme, yang ada dipikirannya hanya ada mencari kebebasan
demi bangsanya. Fakta ini sangat bertolak belakang sekali dengan karakter para
pemimpin kita yang sedikit-sedikit korupsi, korupsi, dan korupsi. Mandela bukan
seorang pemimipin yang suka obral janji-janji. Dia juga seorang orator ulung pada
masanya, tapi dia sangat menunjukkan perjuangannya dengan aksinya. Coba kita
perhatikan bagaimana para caleg ataupun capres kalau lagi kampanye. Dimana
semua bualan tentang janji diobral mulai dari aspek kehidupan mau ekonomi,
sosial, budaya, kesahatan dan lainya. Tapi janji ya tinggalah janji
terealisasikan saja tidak. Malahan yang ada mereka yang dulunya berjanji malah
terjerat korupsi. Kemudian budaya kampanye yang dibarengi unsur money politik
juga menjadikan bahwa tidak ada satu sosok pun di papua yang sama dengan Nelson Mandela. Contohnya saya dalam suatu
kampanye yang dilakukan oleh para elite kita, pasti para tim sukses mencari
masa pendukung untuk berbondong-bondong menghadiri kampanye tersebut. Dengan
kalau ikut kampanye maka akan mendapat imbalan sejumlah uang atau dengan bensin
gratis, dan mereka juga membuat kampanye gede-gedean dengan mendatangkan para
artis papan atas sehingga menjadikan banyak orang yang tertarik datang ke
kampanye tersebut. Bagaimana tidak, udah dapat uang, bensin gratis, dan hiburan
gratis tentu saja semua itu merupakan magnet yang menarik masa hingga dapat
berdatangan. Kemudian nuansa kampanye yang seharusnya menjadi ajang penyampain
visi dan misi secara khidmat, namun malah menjadi acara hura-hura belaka.
Tau Kapan Maju dan Mundur
Mungkin banyak orang yang akan setuju apabila
saya mengatakan bahwa seorang pemimpin yang baik itu adalah seorang pemimpin
yang tau kapan dia harus maju dan kapan dia harus mundur serta pemimpin yang
baik juga harus dapat menciptakan sebanyak-banyak pemimpin yang baik juga
setelahnya. Pada saat dia terpilih sebagai Presiden Kulit Hitam Afrika Selatan
yang pertama, momen itulah dimana ia menentukan sikap untuk memimpin negaranya
dan menciptakan suatu kondisi agar orang kulit hitam memiliki kesetaraan dengan
orang kulit putih. Kemudian sebentar ia menjadi Presiden lalu menyatakan
mundur. Ini berarti Mandela ingin memberikan kesempatan pada generasi
selanjutnya untuk melanjutkan perjuangannya. Ini menunjukan bahwa Mandela
adalah seorang pemimpin yang tahu kapan ia harus maju dan kapan harus mundur.
Kalau saya perhatikan di negara kita orang yang selalu mencalonkan diri jadi
capres pada pemilu rata-rata adalah orang yang sama pernah mencalonkan diri
pada pemilu sebelumnya, dan rata-rata usia mereka yang mencalonkan diri itu
diatas 40 tahun. Apakah tidak terpikir oleh mereka untuk menberikan jalan bagi
yang muda untuk maju mencalonkan dirinya? Bagaimana mau menciptakan banyak
pemimpin yang baik setelahnya kalau yang muda saja tidak diberikan kesempatan.
Di salah satu negara di Afrika saja ada seorang
presiden yang dalam usia muda telah menerima jabatan itu, lalu negara kita
kapan? Inilah mungkin suatu pertanyaan yang akan sulit dijawab selama tidak ada
ruang bagi yang muda untuk maju dan berinisiatif melangkah kedepan. Semoga saja
2014 nanti akan muncul sosok seperti Mandela di papua yang akan
mensejahterakan kehidupan bangsa yang sedang krisis pemimpin ini.
DAUD AWIPODE AGAPA
0 komentar:
Posting Komentar